Rabu, 21 Maret 2012

Saad Al-Dzari’ah

A.    Pengertian Saad Al-Dzari’ah
Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang, pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau mudarat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuat yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahului yang harus dilaluinya. Umpamanya seseorang akan melakukan pembunuhan, sebelumnya ia melakukan beberapa kegiatan seperti memiliki senjata untuk membunuh dan mencari kesempatan untuk melakukan pembunuhan itu. Membunuh merupakan kegiatan pokok yang dituju, sedangkan perbuatan yang mendahuluinya disebut perantara, wasilah, jalan atau pendahuluan[1].
Sebelum melakukan zina, ada hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan menyediakan kesempatan untuk melakukan perbuatan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal yang mendahuluinya disebut wasilah/ perantara/ pendahuluan. 
 
Disini akan dibahas persoalan yang menjadi perbincangan dan pembahasan para ulama yaitu perbuatan perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara itu disebut dengan al-dzari’ah (الذرية).
Dzari’ah artinya jalan menuju sesuatu. Dalam ushul fiqh, dzari’ah merupakan salah satu metode ijtihad dengan pembagian:
  1. Saad al-Dzari’ah, yaitu melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan. Dalam kaitannya dengan pendekatan al-dzari’ah ini, pada hakekatnya semua hal yang mengakibatkan kemudaratan harus dihindarkan.
  2. Fath al-Dzari’ah, yaitu membuka segala sesuatu yang menimbulkan kerusakan atau kemudharatan. Jalan-jalan yang akan melancarkan kemudharatan wajib dihindari. Seperti wajib meninggalkan segala bentuk perbuatan yang akan menimbulkan perzinaan karena Allah melarang mendekati zina.
 Secara bahasa, kata saad berarti menutup dan al-dzari’ah berarti wasilah atau  jalan kesuatu tujuan. Rumusan al-dzari’ah oleh Ibnu Qayyim adalah
ماكان وسيلة وطريقا الى الشئ                                                                                                           
“apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu”                               . selanjutnya Badran mendefinisikan dzari’ah yaitu
هو الموصلا الى الشيئ الممنوع المشتمل على مفسدة                                                                        
apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang yang mengandung kerusakan”.
Untuk menempatkannya di dalam pembahasan, sesuai yang dituju, kata dzari’ah itu didahului dengan kata saddu (سد) yang artinya menutup. Maksudnya adalah menutup jalannya kerusakan. [2]
Ada kalangan tertentu yang memaknai  al-dzari’ah secara khusus , yaitu sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemudaratan. Berdasarkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), sebagaimana diungkap Nasrun Harun tidak tepat karena al-dzari’ah tidak hanya terbatas untuk sesuatu yang terlarang, tetapi meliputi pula kepada yang membawa kepada yang di anjurkan.[3]
Al-dzari’ah dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan . Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya: perbuatan yang membawa ke arah mubah, adalah mubah; perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram; perbuatan yang membawa ke arah wajib adalah wajib. Misalnya zina adalah haram, maka, melihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan zina adalah haram juga. Shalat Jum’at adalah fardhu (wajib), maka meninggalkan jual beli guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah shalat Jum’at  adalah wajib. Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan disini bahwa sumber penetapan hukum ini ada dua:
  1. Maqasid (tujuan/sasaran), yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau mafsadat.
  2. Wasail (perantaraan), jalan atau perantaraan yang membawa kepada maqasid, dimana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik berupa halal atau haram.[4]
Jadi, yang menjadi sumber pokok hukum Islam di sini adalah tinjauan terhadap suatu perbuatan. Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, bukannya memperhitungkan kepada niat si pelaku, akan tetapi yang diperhitungkan di sini adalah akibat dan buah dari perbuatannya. Menurut pendapat Ibnu Qayyim ini, makna al-dzari’ah ini lebih baik dikemukakan secara umum sehingga dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu yang dilarang disebut saad al-dzari’ah dan yang diperintahkan untuk melaksanakan yang disebut fath al-dzari’ah.
Dengan demikian, saad al-dzari’ah berarti menutup  jalan yang mencapaikan pada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh, saad al-dzari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. Imam al- Syattibi, mendefinisikan dzari’ah ini dengan
التو سل بماهومصلحة الى مفسدة                                                                                 
“melakukan suatu pekerjaan yang semulanya mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan “.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya, dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnnya) datang, seseorang yang mempunyai sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan terhindar dari kewajiban zakat.[5] Pada dasarnya, menghibahkan harta kepada anak atau oranglain, dianjurkan oleh syara’, akan tetapi karena tujuan hibah ini adalah dengan tujuan menghindari kewajiban membayar zakat, maka perbuatan ini dilarang. Atas dasar bahwa, zakat itu hukumnya wajib, sedangkan hibah hukumnya sunnat.
Imam al-Syatibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi, sehingga perbuatan itu dilarang:
1.      perbuatan yang dilakukan itu, membawa kepada kemafsadatan,
2.      kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan,
3.      dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan, kemafsadatannya lebih banyak.

B.     Dasar Hukum Saad Al-Dzari’at
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist nabi diantaranya:
  1. Q.S. Al-An’am ayat 108
    Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
    Pada dasarnya menghina dan mencaci penyembah selain Allah itu boleh saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.

    1. Q.S an-Nur ayat 31
        janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
      Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan, namun  karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.[1]

      1. Q.S al-Baqarah: 104
      Dasar hukum saad al-dzari’ah ini juga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 204 yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘unzurna’, dan dengarlah.” (Q,S. al-Baqarah:104).
      Adanya larangan tersebut dikarenakan ucapan “ra’ina” oleh orang-orang  Yahudi dimanfaatkan untuk mencaci nabi. Oleh karena itu, kaum muslimin dilarang mengucapkan kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah.

      1. Sabda Nabi Muhammad SAW tentang larangan menimbun harta
      لا تحتكر الا خاطئ                                                                                                               
      “tidak berbuat orang yang menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah”.
      Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah  (perantara) yang menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian dalam masyarakat.[2]

      A.    Macam-macam dan Kedudukan Saad Al-Dzari’ah
      1.      Macam-macam Saad al-Dzari’ah
      Pembagian dzari’ah yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh ada 2:
      a.       Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
      1)      Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath’i). artinya jika perbuatan ini tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Misalnya seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari, sementara orang yang punya rumah tidak mengetahui. Hal ini akan berakibat fatal, kemungkinan orang yang melaluinya akan  terjatuh ke dalam sumur tersebut.
      2)      Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Seperti, menggali sumur pada tempat yang jarang memberi mudarat, katakanlah itu menggali sumur ditempat yang jarang dilalui orang. Sehingga kemungkinan hal terburuk yang akan terjadi hanya sedikit.
      3)      Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya menjual anggur kepada penjual minuman keras. Hal ini akan menyebabkan bertambahnya produksi minuman keras, sedangkan minuman keras itu sendiri hukumnya adalah haram. Kemudian juga dalam kasus seseorang yang menjual pisau/senjata kepada seseorang yang sedang mencari musuhnya. 
      4)      Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Serta kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari pada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru saja kematian suami dalam masa iddah. Berhiasnya seorang perempuan boleh hukumnya. Tetapi dilakukannya berhias itu justru dikhawatirkan akan terjadi keadaan yang tidak diinginkan, atau bahkan akan menimbulkan dosa. Jual beli yang cenderung berimplikasi kepada praktek riba. [3] Umpamanya jual beli kredit, memang tidak semua jual-beli secara kredit berujung pada riba, namun pada prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.
      b.      Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
      1)      Perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan. Serta contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan perbuatan zina akan membawa kerusakan pada tata keturunan.  
      2)      Perbuatan itu pada dasarnya merupakan perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja ataupun tidak. Seperti seorang yang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan yang disengaja agar suami pertama wanita itu dapat kembali menikahi istrinya itu. Sedangkan dengan tujuan tidak disengaja seperti mencaci sesembahan orang musyrik, yang juga akan menyebabkan orang musyrik itu juga akan mencaci Allah.
      2.      Kedudukan Saad al-Dzari’ah
      Disini kedudukan saad al-dzari’ah yaitu sebagai sumber hukum Islam yang diakui dan berdiri sendiri dan juga  sebagi dalil (hujjah) dalam penetapan hukum. Pengambilannya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan.
      Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai suatu  perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok.
      Namun dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat, seperti kalangan Malikiyyah dan Hanabillah menerima saad a-dzari’ah sebagai dalil menetapkan hukum syara’. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan firman Allah dalam Q.S al-An’am: 108
       Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
      Ayat ini  melarang orang Islam memaki dan menghina sembahan orang-orang Musyrik karena dikhawatirkan mereka membalas dengan memaki dan menghina Allah. Larangan memaki sembahan orang Musyrik adalah saad al-dzariah (menutup jalan) agar mereka tidak memaki dan menghina Allah.
      Kemudian dalam H.R al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dijelaskan bahwa “sesungguhnya sebesar-besar dosa adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lallu Rasulullah ditanya orang, “wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?” Rasulullah menjawab, “seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki oleh orang itu.” 
      Hadits ini menurut Ibnu Taimiyyah, menunjukkan bahwa saad al-dzari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasulullah di atas masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasulullah melarangnya.
      Ada juga dalil lain yang dijadikan sebagai pegangan seperti, hadist nabi SAW yang melarang seseorang mempiutangkan hartanya, menerima hadiah dari orang yang berhutang, untuk menghindari terjerumusnya ke dalam praktek riba.
      Dalam kasus lain, nabi SAW melarang memberi pembagian harta warisan kapada anak yang membunuh bapaknya (HR Bukhari dan Muslim). Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anaknya dengan alasan agar segera memperoleh harta warisan.[1]
      Landasan lain untuk memperkuat alasan mereka terdapat dalam Q.S an-Nur ayat 31
      .” janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
      Sesungguhnya agama Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan. Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah hanya menerima saad al-dzari’h dalam beberapa masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil  dalam masalah-masalah lain. Misalnya imam Syafi’i membolehkan seorang yang karena uzur, seperti sakit dan musafir, boleh meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dzuhur. Namun hendaklah seseorang itu melaksanakan shalat Dzuhur secara diam-diam dan sembunyi supaya tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at. Begitu juga dengan orang yang meningggalkan puasa Ramadhan karena uzur, agar tidak makan dan minum di tempat umum untuk menghindarkan fitnah terhadapnya.
       Menurut Abdul Karim Zaidan, perbuatan yang menjadi wasilah terhadap timbulnya perbuatan yang diharamkan, terbagi dua:
      a.       perbuatan yang haram bukan karena kedudukannya sebagai wasilah  bagi sesuatu yang haram, tetapi esensi perbuatan itu yang memang haram.
      b.      suatu perbuatan yang mulanya secara esensial hukumnya mubah, tetapi perbuatan itu berpeluang untuk dijadikan sebagai wasilah yang melahirkan perbuatan haram.
      A.    Pandangan Ulama Tentang Saad al-Dzari’ah
      Jumhur ulama pada dasarnya dalam menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada dasarnya juga menerima metode saad al-dzari’ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya.
      Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat para ulama tentang saad al-dzari’ah menjadi 3 kelompok, yaitu:
      1.      dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti, atau berat dugaan akan menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang dzari’ah tersebut. Sehingga dalam kitab-kitab fiqh madzhab ditegaskan larangan menggali lobang di tempat yang biasa dilalui orang serta dilarang menjual anggur kepada produsen minuman keras.
      2.      dzari’ah yang memungkinkan menimbulkan mudarat. Seperti menggali lobang di kebun sendiri, yang tidak dilalui oleh orang lain.
      3.      dzari’ah yang terletak di tengah-tengah antara kemungkinan membawa kerusakan dan tidak membawa kerusakan. Dasar pegangan ulama yaitu, kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan antara maslahat dan mafsadat. Apabila maslahat yang dominan, maka perbuatan itu dibolehkan, namun jika mafsadat yang dominan, maka hal ini dilarang.
      Ada juga ulama yang menolak saad al-dzari’ah ini secara mutlak, seperti ulama Zahiriyah dengan alasan:
      1.      hadist yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkannya, lemah dari segi sanad dan maksud artinya. Banyak hadist itu yang diriwayatkan dalam banyak versi yang berbeda perawinya.
      2.      dasar pemikiran saad al-dzari’ah itu adalah ijtihad. Sedangkan ulama Zahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu tersebut.
      3.      hukum syara’ hanya menyangkut pada apa-apa yang ada dalam Al-Qur’an atau dalam sunnah dan ijma’ para ulama. Mereka memakai Q.S an-Nahl: 116 sebagai dalil untuk memperkuat alasanya. “janganlah kamu katakan berdasarkan ucapan lisanmu suatu kebohongan, ini halal dan ini haram, karena mengada-ada terhadap Allah dalam bentuk bohong”.


      [1] Op.cit , 120


      [1]Op. cit. h.401
      [2] Op.cit. h. 441
      [3] Op.cit, h. 163


[1]  Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008 cet. 4 h. 397
[2] Ibid. h.399
[3] Firdaus, M.Ag, Ushul Fiqh, Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004, cet 1 h. 119
[4] Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 1994 cet 1, h. 439
[5] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, cet 2, h. 161 dan 162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar