Rabu, 21 Maret 2012

KAYA VS MISKIN


Berbicara tentang fenomena perekonomian, kita tidak terlepas dari permasalahan yang tidak mungkin dapat dipungkiri, yaitu terkait dengan kesenjangan perekonomian “kaya dan miskin”. Sekarang tinggal bagi kita, akankah kita menganggap “kaya vs miskin ataukah kaya = miskin?”.  
Tidak sedikit terjadi kesenjangan-kesenjangan sosial dalam masyarakat. Banyak orang yang bilang bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini terjadi karena kesenjangan sosial. Kesenjangan-kesenjangan sosial ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kesenjangan sosial dapat diartikan dengan gap (jurang) yang semakin meruncing antara sikaya dan simiskin. Dimana, orang kaya dengan kapital dan kekuasaannya mendominasi perekonomian. Sementara, orang miskin hanya bisa menerima apa adanya.

 
Mengapa ada kaya dan ada miskin?
Yang pertama, bahwa kaya dan miskin itu disebabkan oleh takdir.
Kita percaya kepada takdir, namun kita tidak pernah tahu kapan takdir itu benar-benar sudah akan hadir. Kita baru bisa mengatakan itu takdir jika usaha secara maksimal sudah dikerjakan. Jika usaha belum maksimal itu artinya kemalasan berkedok takdir, yang berarti su’u al-zhan kepada Allah.

Yang kedua, bahwa kaya dan miskin itu disebabkan karena faktor malas.
Bagaimanapun ada program pengentasan kemiskinan, namun jika simiskin sendiri tidak mau bekerja keras, tidak mau bersusah-susah belajar dan bekerja, tidak mau berusaha untuk terlepas dari kemiskinan dan membenci dirinya kalau miskin, semua akan sia-sia. Seandainya mereka diberi uang semua cenderung akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif. Jadi. Langkah awal untuk mengatasi ini adalah harus ada usaha perubahan mental simiskin itu sendiri. Tanpa adanya perubahan mental ini, tidak mungkin simiskin akan menjadi kaya, karena tidak akan berani untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya memang berat agar dapat melepaskan diri dari kemiskinan itu. Harus dipertegas dalam diri bahwa agar membenci dirinya kalau miskin, bukan untuk membenci orang lain yang miskin. Allah sendiri berjanji dalam QS Al-A’ra’ad ayat 11 bahwa: "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain dia"
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS Al-Mulk: 15)

Orang lain yang kaya harus dihormati, kalau perlu diakui. Namun jika kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang haram, mencuri, merampok, korupsi, kolusi, merampas, menipu dan semacamnya, itu bukan kekayaan yang ada tapi keserakahan dengan cara haram dan melanggar hukum. Ini yang harus ditegakkan keadilan dan ketertiban hukum. Meskipun kekayaan diperoleh dengan cara yang halal, namun harus ditekankan untuk menjadi manusia yang gemar berdharma dan beramal shaleh. Untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dalam memberikan pemahaman bagi masyarakat serta alat-alat Negara itu sendiri untuk menyisihkan sebagian harta mereka demi kepentingan pembangunan SDM orang-orang miskin.
Selain itu, hal terpenting adalah, kemiskinan disebabkan oleh keserakahan dari sikaya.
Faktanya, orang yang sudah tamat kuliahpun masih menganggur. Bukan karena faktor kemalasan, tapi karena tidak mempunyai koneksi dan kesempatan. Keserakahan sikaya itulah yang menutup kesempatan kepada simiskin!. Keserakahan juga untuk memperkuat keluarga, kenalan, atau kelompok etnik, dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain, untuk selanjutnya, masalah kesempatan untuk mendapat pekerjaan seharusnya diwujudkan secara adil.
Keserakahan menjadi malapetaka yang sangat menghancurkan bagi perekonomian. Terbukti dengan berapa banyak orang yang hidup dengan limpahan harta, serta berapa banyak orang yang hidup di dalam kemelaratan dan di bawah garis kemiskinan. Hati manusia yang masih dipenuhi kesekarahan membuatnya hidup dalam kekurangan dan takut kehilangan, sehingga tidak mau berbagi dengan yang lain. Keserakahan adalah jubah kemiskinan yang menyedihkan yang masih sering dipakai tak rela untuk dilepas.
Melihat kontras antara kaya dengan miskin itu sendiri, Hendry George (ahli ekonomi Amerika), ia juga ikut mengutuk fenomena kontras kekayaan dan kemiskinan, “selama kekayaan yang terus meningkat, yang dihasilkan oleh kemajuan modern hanya untuk membangun keuntungan, meningkatkan kemewahan, dan mempertjam kontras antara rumah sikaya dengan rumah simiskin, maka kemajuan itu tidak real dan tidak permanent”.
Namun dengan prinsip-prinsip barat yang sangat mengagung-agungkan capital (modal), tidak akan bisa mengembalikan kesetaraan dikalangan manusia. Mereka hanya mementingkan keuntungan sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi untuk  kekayaan pribadi dan  memonopoli  capital, serta tidak memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak mempunyai capital untuk ikut bersaing. Kritikan-kritikan mereka (barat) itu tidak mampu mengubah perekonomian menjadi lebih baik, mereka tinggal di belakang sebagai menara gading dan hanya dianggap sebagai figur-figur sejarah, yang sampai saat ini hanya memperlebar jurang pemisah antara sikaya dan simiskin dengan konsep distribusi yang tidak adil.
Kemiskinan semakin lama semakin akut. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat semakin sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Banyaknya orang antre berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat, sedekah atau amal jariah dalam bentuk bagi-bagi uang dan sembako oleh orang-orang kaya atau pejabat di negeri, ini adalah buktinya. Serta faktanya di Indonesia, jerat kemiskinan makin kronis. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 saja mencapai 30,02 juta atau 12,49 persen.
Jika kita lirik, berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah warga miskin saat ini sekitar 13,3 persen (31 juta dari 240 juta jiwa penduduk) dengan acuan standar kemiskinan Rp 211.726 per bulan atau sekitar Rp 7.000 per hari. Coba bayangkan jika pemerintah menggunakan standar kemiskinan internasional USD 2 per hari. Ada sekitar 110 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup tidak layak alias di bawah garis kemiskinan.
Jangankan Indonesia, negara yang katanya super power juga mengalami permasalahan kemiskinan yang memang sulit untuk diatasi. Data terbaru yang dirilis Selasa (13/9) menunjukkan jumlah warga AS yang hidup di bawah garis kemiskinan terus bertambah. Menurut data, tingkat kemiskinan secara nasional di Amerika meningkat menjadi 15,1 persen pada tahun terakhir ini dan angka itu merupakan level tertinggi sejak tahun 1993. Berdasarkan prosentase itu, rakyat AS yang hidup dibawah garis kemiskinan jumlahnya mencapai 46,2 juta jiwa, bertambah 2,6 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya. Inilah potret yang memang tidak dapat dipungkiri.
Berbicara mengenai kebobrokan sistem kapitalis, Muara yang tidak terhindarkan dari dampak langsung krisis kapitalisme Amerika itu adalah pada meningkatnya potensi pemutusan hubungan kerja di Indonesia, karena keuangan Indonesia juga terkait dengan keuangan Amerika. Hingga akhir 2008, tingkat PHK yang terjadi diperkirakan sudah mencapai sekitar 100.000 orang. Sedangkan untuk tahun 2009, menurut perkiraan sementara, tingkat PHK cenderung meningkat menjadi sekitar 500.000 hingga satu juta orang, serta semakin meningkat ditahun terakhir yang juga telah meningkatkan tingkat kemiskinan.
Inilah yang menjadi problem dunia secara umum. Berapa banyak orang yang terlalu kaya, dan berapa banyak orang yang terlalu miskin? Sehingga gap antara keduanya sangat luas, yang berawal dari keserakahan orang-orang yang memiliki kapital serta tidak adanya kesadaran untuk distribusi kekayaan.

Pantaskah kaya vs miskin?
Jika kita berkiblat pada ekonomi kapitalis, menjadi hal yang biasa, karena mereka hanya mementingkan profit oriented (laba). Surplus value (nilai lebih) hanya dinikmati oleh orang kaya (the heave) yang mempunyai kapital, bagaimana mereka bisa menguasai perekonomian. Sementara orang miskin (the heave not) harus menerima keadaan dan hidup tertindas. Mereka tidak peduli dengan nasib kaum proletar. Bahkan berdasatrkan sejarah, mereka memutus rantai kemiskinan dengan membiarkan orang-orang miskin mati dijalanan.
Prinsip kapitalisme sering kali menumbuhkan berbagai dampak yang berujung pada diskriminasi, baik diskriminasi terhadap labour (tenaga kerja) ataupun land (SDA). Akibatnya kesenjangan antara simiskin dan sikaya tidak akan pernah berakhir.
Jika kita kembali kepada sistem agama Islam secara murni yang sangat menjunjung rasa kemanusiaan, saling berbagi, sangatlah tidak pantas prinsip profit oriented ini dibumikan. Jika prinsip ini menjadi pegangan saat ini, akan bagaimana perekonomian ke depannya?.  Islam membenci keserakahan serta Islam menawarkan distribusi pendapatan antara sikaya dengan simiskin melalui pemotensian zakat produktif (pemberian zakat untuk kegiatan produksi), serta meminimalkan zakat untuk kegiatan konsumtif.
Ternyata ketiga faktor tersebut memang suatu kebenaran adanya. Agama pada dasarnya mengajarkan kita untuk kaya, sehingga mampu membayar zakat, berzakat ataupun bersedekah, bukan mengajarkan kita untuk menjadi pengemis, serta capital (kekayaan) memang harus didistribusikan agar gap antara sikaya dan simiskin dapat diminimalisir.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar