Kamis, 22 Maret 2012

Berawal dari DEDIKASI


Pagi yang mendung, ku bejalan setapak demi setapak dengan penuh semangat menuju sekolah. Aku menoleh kearah tangan, ternyata jam tanganku menunjukkan pukul 07.29.  Waduh, aku telat, bisa-bisa dihukum lagi” gerutuku dalam hati. Segera aku mengambil langkah seribu, berlari menuju sekolah tanpa melihat kiri-kanan. Sesampai di gerbang sekolah, aku langsung menerobos masuk. Seketika itu, “eh,,,eh,,,eh,,, stop,,stop,,,stoooop,,,,!”, aku menoleh ke samping, ternyata pak Arman, sang penjaga sekolah sudah berdiri, siap dengan kepalan tangan serta jari telunjuk menunjuk  ke arahku. Terdengar sreg-sreg ala suara pak Arman, beliau berkata, “Upik, kamu telat lagi”. Tanpa pikir panjang, aku jawab, “iya pak, jalan macet”. Pak Arman jadi bingung, “macet? Sejak kapan jalan kesini ada istilah macet? Alasan kamu g’ masuk akal”, sangkal pak Arman. “Hm,,,, iya pak, alasan aku saja”, akhirnya aku mengakui. “Kalau begitu kamu berbaris di atas, sekalian sama yang telat lainnya nanti”, pak Arman menyambung kata-katanya.
Mata terbelalak dan melotot ke arah pak  Arman, aku berkata “Upik belum telat pak, sedikit lagi, baru telat. Buktinya gerbang saja belum dikunci, dan bapak lihat itu” kataku sambil menunjuk kearah bawah tempat lapangan yang biasa kami gunakan untuk berbaris. “Teman-temanku belum berbaris dengan rapi”, ungkapku  agak kesal. Pak Arman hanya menggeleng-geleng, karena ia tau persis sifat dan tingkah lakuku yang sering datang ke sekolah hampir-hampir  telat seperti ini.  
Menawarkan raut wajah pantas dikasihani, “bapak baikkan pak? Upik kan belum telat, Upik ikut berbaris di bawah, Upik janji besok g’ telat lagi, boleh ya pak?”, aku minta izin kepada pak Arman. Melihat aku seperti ini, pak Arman terlihat kasihan padaku, lagi-lagi pak Arman menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata “ya sudah, kamu boleh ikut berbaris di bawah.”. Secepat kilat aku berbalik arah sambil mengucapkan terima kasih pada pak Arman, dan langsung memasang lagi langkah seribu yang tadi sempat terhenti.
***
Belum lagi sampai di tempat berbaris, terdengar suara, “Upik,,,, berhenti, berdiri disana!”. Jantungku terasa panas dan berdenyut lebih kencang. “Mati aku, cobaan apa lagi ini? Hm,,,,,, itu kan suara ibu Kamsidar”, kata batinku. Ibu Kamsidar adalah guru yang paling ditakuti di sekolah. Sifatnya yang terlalu tegas dan sikapnya yang dingin, membuat semua warga sekolah enggan berurusan sama beliau. Ibu Kamsidar kenal namaku, karena sebelumnya aku pernah berurusan dengannya. Terdengar suara lambat, beliau berkata, “sebelum baris-berbaris diakhiri, kamu harus berdiri disini, dan setelah bubar, kamu berdiri di samping tiang bendera bersama siswa yang terlambat lainnya”. Semangatku tadi lenyap seketika, mendengar ucapan ibu Kamsidar, dengan suara pelan, “Ya Bu” jawabku.

Setelah baris-berbaris usai, teman-temanku langsung masuk ruangan belajar, tersisalah di luar mereka yang terlambat, termasuk aku. Kami berdiri di samping tiang bendera sambil mendengar ceramah bapak Kudri, Wakil Kepala Sekolah. Setelah itu, kami disuruh memungut sampah sampai perkarangan menjadi bersih. “g’ apalah, hitung-hitung nambah pahala” tangkas batinku untuk menghibur hati.
Aku langsung berlari menuju kelas, dan terlihat di belakang, bu Asri, guru yang mengajar AKUNTANSI mengikuti. Sesampai di lokal, aku langsung mengambil posisi dan duduk manis. “Assalamu’alaikum”, bu Asri mengucapkan salam. “Wa’alaikum salam” jawab kami serempak. Tanpa basa-basi lagi bu Asri langsung melanjutkan pelajaran hingga waktu pelajaran AKUNTANSI habis.
***
“Teeeeeng,,, teeeeeng,,,,teeeeeng,,,,” bel istirahat berbunyi, aku bersiap-siap keluar ruangan untuk melepas jenuh, kemudian bergerak menuju MADING (Majalah Dinding), dengan judul “DEDIKASI (DERETAN DIKSI KARYA SISWA), di depan ruangan OSIS. Disana banyak terdapat berbagai corak tulisan, mulai dari sya’ir, pantun, puisi, cerpen dan kata-kata bijak. Seketika mataku melirik kearah pojok kiri  atas MADING, disana tertera “Ikuti Lomba DEDIKASI,  berupa Puisi, Sya’ir dan Cerpen”. Mataku terpaku melototi tulisan itu. “Aku pasti bisa, teman-temanku bisa, kenapa aku tidak? Aku coba ikut ah,,,,” ucapku dalam hati.
Lomba akan diadakan dua hari lagi, pada saat yang bersamaan, ku temui Landra, teman sekelasku,  “Lan, aku mau ikut lomba menulis cerpen, kamu bantu aku, beri masukan dan kritikan ya!” pintaku pada Landra. Terlihat mimik wajah dan suara heran, Landra bertanya, “kamu yakin Pik? Sejak kapan kamu suka menulis?”. “Sejak sekarang”  jawabku dengan nada optimis. “Ya sudah, kalau kamu memang mau ikut,” sela Landra masih tidak percaya.
***
Pulang sekolah, jam menunjukkan pukul 14.10, setelah shalat dan makan siang, aku istirahat, namun yang terbayang dibenakku adalah lomba menulis cerpen. “Kira-kira judul, tema jalan ceritanya apa ya?” aku berpikir keras. “Ting”, tiba-tiba ide cemerlangku muncul. Aku akan membuat cerpen dengan judul “SESENDOK RINDU DALAM SEMANGKOK DUSTA”. Kira-kira ceritanya begini, “kasih sayang dalam sebuah keluarga yang diselimuti kebohongan”,  dengan penuh penghayatan, aku tulis huruf demi huruf, kata demi kata hingga menjadi kalimat yang padu dan akhirnya menciptakan sebuah cerita.
***
Saat yang ditunggu-tunggu telah datang. Pagi-pagi aku sudah tiba di sekolah. Tepat jam 08.00 semua tulisan karya siswa yang mengikuti lomba DEDIKASI harus dikumpul, dan salah satunya tulisanku. Ketika tulisan itu aku berikan ke tangan pak Budi (panitia yang bertugas mengumpulkan), beliau tersenyum heran, “kamu nulis juga Pik?" tanya pak Budi. “Iya pak, coba-coba” jawabku. “Pengumuman finalis dan pemenang akan diumumkan besok Pik, kamu bersabar sambil berdo’a sampai besok ya!” ucap pak Budi sambil tersenyum masih tidak percaya.  “Ya g’ apalah, menunggu lagi” kataku dalam hati..
“Gimana Pik? Sudah dikumpul?” Tanya Landra yang muncul bak hantu dari belakang. “Sudah” jawabku singkat dengan nada kaget. “Kamu pasti menang Pik”, kata Landra memberi  semangat.  Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena aku tidak yakin hal itu akan terjadi, melihat orang-orang yang ikut lomba adalah mereka yang sudah berpengalaman, sedangkan aku masih teramat sangat  awam.
***
Keesokan harinya, tepat jam 10.00 akan diumumkan para finalis dan pemenang masing-masing lomba. Semua warga sekolah sudah berkumpul di Aula. “Untuk 9 orang finalis yang mengikuti Lomba Menulis Puisi, dari 40 orang siswa adalah: Ana, Siska, Wahyu, Adit, Mita, Aldi, Pipit, Ade dan Burhan”, panggil pak Budi. Ke-9 finalis itu maju ke atas panggung dan berbaris berjejer.  “Selanjutnya, 9 finalis Lomba Menulis Sya’ir dari 13 peserta, yaitu: Sukra, Mimin, Rahma, Addul, Jenny, Undri, Mega, Silva dan Ningsih”, mereka juga naik ke panggung. Denyut jantungku semakin kencang, harap-harap cemas menyelimutiku, karena memang baru kali ini aku mengikuti lomba seperti ini. Tubuhku mulai terasa goyang menunggu hasilnya. “Yang terakhir, 9 finalis Penulis Cerpen terbaik dari 34 peserta, yaitu: Vina, Bambang, Desti, Gita, Jono, Ahmad, Hari, Upik, dan Diva. “Alhamdulillahirabbil ‘alamiin ternyata aku masuk nominasi”. Jantung dan fikiranku semakin tak menentu, ke-9 finalis penulis cerpen naik ke atas panggung, dengan kaki gemetar, aku melangkah mengikuti finalis lainnya. Sesampai di panggung, aku melihat orang di bawah sungguh banyak, seperti semut yang sedang berkerumun. Tubuhku terasa hampir tumbang, dan mataku seperti melihat bintang-bintang beterbangan.
'***
“Pemenang Lomba Menulis Puisi adalah, juara 3 di raih oleh Mita, juara 2 diraih oleh Pipit, dan pemenangnya adalah Burhan. Dipesilahkan kedepan” ucap pak Budi. “Untuk Lomba Menulis Sya’ir, juara 3 oleh Mimin, juara 2 oleh Addul, dan juara 1 diraih oleh Mega”. Ketiganyapun maju kedepan. “Yang terakhir, pemenang Lomba Menulis Puisi, juara 3 di raih oleh Gita, juara 2 oleh Bambang, dan juara 1 diraih oleh Upik Lestari”, pak Budi mengumumkan.
Seketika badanku semakin tak karuan, kakiku semakin bergetar kencang. Sementara itu, pak Kardin (Kepala Sekolah) memberikan piala dan sertifikat kepada para juara. Keringat dingin bermunculan dari pori-pori kulitku, sekujur tubuhku terasa dingin,.
***
Masing-masing pemenang diminta memberikan sambutan. Tiba saat giliranku, aku maju, melihat kerumunan orang yang sungguh banyak, juga terlihat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya. Mataku berkunang-kunang, kakiku menggigil, jantungku berdetak sangat hebat. Aku ambil mikrofon dari tangan pak Budi, bola mataku bergerak bolak-balik melihat ke sekeliling, semua terasa berputar. “Assalamu’a….”, seketika semua terlihat hitam, kelam, tidak ada lagi kerumunan orang. “Brug,,,,, tang,,,,”, ternyata aku terjatuh dan pingsan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar