Kamis, 22 Maret 2012

PEMIKIR EKONOMI ISLAM KLASIK (ABU YUSUF)

 
A.  Biografi Dan Karya Tulisnya
Bila ditelusuri catatan sejarah dan pemikiran dalam kajian ekonomi, maka kita akan menemukan kealpaan yang merugikan khazanah keilmuan islam. Itu terlihat dari sangat langkanya nama para tokoh muslim yang dimunculkan dipermukaan, diantara kelompok tersebut adalah Abu Yusuf, yang jika dilihat dari pemikiran kelimuannya memiliki pemikiranyang cukup brilian, namun pemikirannya dalam bidang ekonomi nyaris dilupakan sama sekali.
Nama lengkap dari Abu Yusuf adalah Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein Al-Anshori, ia lahir di kuffah pada tahun 113 H (731 M), dan wafat pada tahun 182 H (798 M). Abu Yusuf berasala dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshar.[1]  Jika dilihat dari tahun kehidupannya, menunjukkan bahwa ia hidup pada masa transisi, yakni diakhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan diawal pemerintahan Bani Abbasiyah. Karena berbagai sebab, tumbanglah Dinasti Bani Umayah di Damaskus dan muncullah Dinasti Abbasiyah di Baghdad.[2]
Abu Yusuf menimba ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad Athobin As-Saib al-Kufi, Sulaiman bin Mahran al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar dan al-HAJJAJ bin arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifa. Selama tujuh belas tahun, Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada pendiri mazhab hanafi tersebut. 
 
Ia juga terkenal sebagai salah seorang murid terkemuka Abu Hanifah. sepeninggal gurunya, Abu Yusuf bersama Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani menjadi tokoh pelopor dalam penyebaran dan pengembangan mazhab hanafi. Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang yang alim dan sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik para ulama maupun masyarakat umum. Tidak jarang pendapatnya dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan masyarakat, bahkan tidak sedikit orang yang belajar padanya.    
Diantara tokoh besar yang menjadi muridnya adalah Muhammmad bin al Hasan al Syaibani, Ahmad bin Hambal, Yazid bin Harun al Wasiti, al Hasan bin Ziad al Lu’lui, dan Yahya bin Adam al Qarasy. Disisi lain sebagai salah satu penghormatan dan pengakuan pemerintah atas kedalam dan luasan ilmunya khalifah dinasti Abasyia, Harun al-Rasyid mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung, (qadhi al-qudhah)
Dalam keseharian, ia berprofesi sebagai murid, guru, hakim, dan juga sebagai pejabat penting dalam kehakiman. Selain dari itu ia juga sempat menulis beberapa buku yang sangat berpengaruh besar dalam memperbaiki system pemerintahan dan peradilan serta penyebaran Mazhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah kitab Al-Asar, kitab Ikhtilafabi Hanifah Wa ibn Abi Laila, kitab Ar-Radd ‘Ala Siyar Al-Auza’i, Serta kitab Al-Kharaj.
Dari beberapa karangn tersebut, karyanya yang paling popular adalah kitab Al-Kharaj. Di dalam kitab ini ia menuangkan pemikiran fiqhnya dalam berbagai aspek dan sebagai petunjuk administrasi dalam rangka mengelola lembaga baitul maal dengan baik dan benar[3], seperti keuangan Negara, pajak tanah, pemerintahan dan musyawarah.
Penulisan kitab Al-Kharaj versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan khalifah Harun al-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian kitab Al-Kharaj mempunyai orientasi birokratik karena ditulis untuk merespons, permintaan khalifah Harun Al-Rasyid yang ingin menaajdikannya sebagai buku petunjuk administrative dalam rangka mengelola baitul maal dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terzalimi. Di dalam kitab Al-Kharaj, tidak hanya dibahas permasalahan mengenai pajak, tetapi di dalamnya juga dibahas persoalan yang terkait dengan sumber pendapatan Negara lainnya seperti, ghanimah, fai, kharaj, ushr, jizyah dan shadaqah.
Karya-karya abu yusuf lainnya seperti kitab As-‘Alat (tentang shalat, kitab az-zakah (tentang zakat), kitab ‘iyam (mengenai puasa), kitab Al-Ba’i (tentang jual beli), kitab Fara’id (mengenai waris), dan kitab Al-Wa’iyya(tentang wasiat).

B.  Keuangan Publik (Penerimaan Negara)
Istilah Al-Kharaj dalam kitab karangan Abu Yusuf mengandung makna al-amwal al-'ammah (keuangan umum), atau sumber pendapatan negara. Hal ini tampak jelas ketika mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara seperti ganimah, fai', al-kharaj, al-jzyah, dan al-amwal (harta) yang disamakan dengan al-kharaj seperti 'usyur al-tijarah, dan sadaqah karena jenis harta atau al-amwal tersebut menggantikan kedudukan al-kharaj.[4]
Didalamnya juga tertulis nasihat umum yang dominan, serta didalamnya memuat tulisan tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi, rampasan perang kemudinan dilanjutkan dengan hal berkenaan dengan kepemilikan tanah dan pajak tanah dan pajak-pajak hasil pertanian, kemudian dilanjutkan dengan kharaj, yang kemudianmenghasilkan istilah berup aushr fai’, zakat, dan shadaqah. Penamaan kitab ini dengan nama Al-Kharaj.
  1. Ganimah
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Harta tersebut biasanya berupa uang, senjata, barang-barang dagangan, barang pangan dan lainnya. Pembagian dari ghanimah ini, 1/5 atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah Saham bagi mereka yang ikut peperangan.

  1. Zakat
Zakat merupakan salah satu instrument Keuangan Negara pada saat itu. Diantar objek zakat yag menjadi perhatian Abu Yusuf seperti:
a.       Zakat pertanian, besar pembayaran zakatnya adalah sebesar ‘usyr 10% dan 5% tergantung irigasinya, serta jika telah mencapai nisab sebanyak 623 Kg.
b.      Zakat hasil mineral atau barang tambang lainnya. Abu Yusuf dan Abu Hanifah berpendapat bahwa standar untuk barang-barang tambang tersebut adalah 1/5 atau 20% dari total produksi.
  1. Harta Fay’
Fay’ adalah segala sesuatu yang dikuasai orang mslim dari orang kafirt tanpa melalui peperangan, termasuk Kharaj, Jizyah perorangan, dan ‘Usyr. Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari orang-orang non muslim. ‘Usyr adalah hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan Ahl Immah, dan penduduk darul harbi yang melewati perbatasan Negara Islam.
Tarif ‘Usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim, maka dikenakan zakat perdagangan sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan Ahl Immah dikenakan tariff 5%. Kafir Harbi dikenakan tarif 10% sesuai tariff yang dikenakan mereka terhadap pedagang muslim yang melintasi daerah mereka.
Sebagai salah satu contoh, dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap dari pada menarik sewa dari hasil pertanian. Menurutnya, cara ini lebh adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan menggunakan system muqasamah (pajak sesuai dengan hasil yang diperoleh).

C.  Kebijakan Fiscal
Abu Yusuf merupakan ahli fiqh pertama yang mencurahkan perhatiannya terhadap permasalahan ekonomi. Dan yang sering menjadi perhatiannya adalah permasalahan tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak dan kewajiban penguasa untuk menghargai Uang Public sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.
Kitab Al-Kharaj ditulis oleh Abu Yusuf sebagai jawaban dari pertanyaan  khalifah Harun Al-Rasyid seputar keuangan Negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran Negara yang sesuai dengan syari’at Islam, untuk memenuhi kebutuhan serta mencegah kezaliman. Selain itu, ia juga menunjukkan keunggulan system pajak proposional (muqasamah) menggantikan system pajak tetap pada tanah, serta pentingnya petugas pengawas pajak untuk mencegah korupsi dan menghindari penindasan. Dalam penggunaan dana public beliau menggunaan dana public, pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan Negara.

D.  Mekanisme Pasar
Terkait dengan mekanisme pasar, Abu Yusuf memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Yang menjadi fenomena adalah ketika terjadi kelangkaan barang, harga cenderung naik. dan sebaliknya. Hal ini terkait dengan hubungan harga dan kuantitas barang yang hanya memperhatikan kurva demand.[5]
Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga tetap mahal  ketika persediaan barang melimpah , sementara harga akan murah  meskipun persediaan barang berkurang , karena dalam kenyataannya, harga tidak hanya bergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran.
Oleh karena itu, peningkatan atau penurunan harga tidak hnya berhubungan dengan peningkatan dan penurunan permintaan dan jumlah produksi. Di pihak lain abu yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variable lain yang mempengaruhi. Bias jadi variable itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu Negara, atau penimbunan dan penahan barang.[1]
Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variable lain yang mempengaruhi seperti pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu Negara, atau penimbunan dan penahanan barang.

A.   Relevansi
1.      Bahwa Negara harus memberikan upah dan jaminan dimasa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi kaum muslim. Hal ini juga dilakukan di Negara kita sampai saat ini, orang-orang yang ikut dalam mempertahankan Negara diberi jaminan dihari tua.
2.      Dalam menyelesaikan permasalahan pajak, dizaman Abu Yusuf jika kegiatan menghasilkan perkembangan dan peningkatan dalam kharaj, sarana dan prasarana harus dilengkapi, semua biaya harus ditanggung oleh keuangan negara. Jangan menarik biaya itu dari rakyat diwilayah tersebut karena mereka yang seharusnya ditingkatkan, bukan dihancurkan. Setiap permintaan masyarakat pembayar kharaj untuk perbaikan dan sebagiannya termasuk peningkatan dan perbaiakan tanah dan kanal, harus dipenuhi.
Jika kita melihat dalam keadaan kenegaraan serta kaitannya dengan perekonomian, untuk pembangunan sarana dan prasarana. Pemerintah juga mengambil dana untuk pembiayaan hal tersebut juga diambil dari pajak. Namun bedanya, zaman dahulu sumber dan perhitungan pajak itu jelas sesuai dengan hasil atau penghasilan, kalau sekarang pemungutan pajak tidak memperhitungkan, atau tidak berpedoman pada penghasilan dari objek pajak itu sendiri.
3.      Pada masa Abu Yusuf, ia cenderung menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap, dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya cara ini lebih adil dan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberi kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan menggunakan system muqasamah (proposional tax) dari pada mishah (fixed tax).[2] Jika kita hubungkan dengan sistem Negara kita sekarang, konsep misahah yang digunakan di zaman Abu Yusuf, sama dengan tarif pajak yang memang sudah ditentukan oleh pemerintah dari awal, tanpa melihat hasil, seperti penetapan Pajak Bumi dan Bangunan. Serta konsep muqashamah juga ada diterapkan di Negara kita, dengan menetapkan jumlah pembayaran pajak sesuai dengan hasil yang diperoleh, seperti Pajak Penghasilan.


[1] Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam , Bandung: Pustaka Setia, 2010,  cet. 1, h. 157-158
[2] Ibid, Boedi Abdullah, h. 165
 


[1] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005, h. 69
[2] http://www.scribd.com/doc/57711045/abu-yusuf
[3] Adiawarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran EkonomimIslam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 233
[4] www.hauzahrinjani.com/

[5] Op.Cit, Euis Amalia, h.85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar