Rabu, 14 Maret 2012

SURAT UNTUKKU



Tiga bulan sudah berlalu, ruangan ini masih terasa hampa. Tak ada yang menemaniku, hanya sofa pink selalu berdiri menantiku seakan berharap keramaian mendekatinya. Gorden putih penutup jendela, kado pernikahan orangtuaku 15 tahun lalu menjontai seolah tak bersemangat lagi. Kursi goyang di pojok kiri yang biasanya sselalu diduduki ayah beberapa tahun silam, seakan menunggu sesosok yang menduduki dan membelainya lagi. Tikar permadani yang juga berwarna pink membentang menutupi seluruh lantai ruang tamu. Lemari kayu, etalase serta televisi masih berdiri kokoh memenuhi ruangan ini. Gambar-gambar ayat suci Al-Qur’an, foto-foto keluargaku serta rangkaian bunga dinding yang sudah cukup lama menutupi kehampaan dinding bercatkan warna krem. Semua seolah-olah tak bersemangat seperti hidupku yang sudah tidak memiliki keceriaan dan semangat seperti dulu lagi. Semua penghuni yang ada di ruangan ini sepertinya ikut terlarut bersama kesedihan dan kehampaan yang aku rasakan semenjak beberapa bulan belakangan ini.


10 tahun lalu ayah pergi entah kemana, sampai saat ini g’ pernah datang menemui kami. Jangankan pulang, memberi kabarpun tidak sama sekali. Usaha kami untuk mencari ayah selama ini sia-sia. Ayah sepertinya terlarut bersama istri barunya, yang memang lebih muda dari pada ibu. Bahkan sepertinya ayah sudah melupakan kami, menganggap kami g’ pernah singgah dikehidupanya. Hanya karena wanita itu, ayah tega meninggalkan aku dan ibu. Pada halayah sendiri tau kalau ibu g’ punya saudara di sini, ibu hanya punya aku sebagai anak tunggalnya.
Dulu, aku masih berharap suatu saat ayah akan kembali lagi untuk menghias kehidupan kami. Tapi…… keinginanku hampa. Buktinya, hingga detik ini ayah tak juga muncul membawa pelangi kehidupan seperti dulu. Mulai saat ini, aku memutuskan g’ akan mengharapkan ayah kembali. Semua harapanku hanya sebatas alusinasi.
Sedangkan ibu, semanjak kepergian ayah hanya ibu yang aku miliki. Hanya ibu yang senantiasa menemani hari-hariku, memberi aku semangat dan motivasi. Ibu selalu bilang “ buktikan kalau kamu bisa tanpa tergantung kepada orang lain”, kata inilah yang selalu menjadi motivasi dalam hidup aku. Ibulah yang berusaha keras menjadi tulang punggung keluarga demi kelangsungan hidup keluarga kami dan kelanjutan sekolahku. Ia sangat berharap suatu saat, aku akan berhasil dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Ibu selalu mendengar keluhanku, ia ikut gembira ketika aku senang dan ikut menangis ketika aku sedih.
Tapi,,, sekarang, semenjak 4 bulan lalu semua benar-benar hampa. Hidupku terasa kosong, tiada lagi keceriaan ketika aku memperoleh prestasi, g’ adalagi yang ikut merasakan kebahagiaanku. Ibu meninggal karena serangan jantung. Aku berusaha membawa ibu kerumah sakit agar ibu mendapat perawatan , namun percuma, hasilnya nihil. Kini aku sendiri, benar-benar sendiri, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.
Hari ini adalah hari off aku, aku memilih menghabiskan hari ini di rumah untuk bersih-bersih dan menata seluruh isi rumah. Aku duduk di atas kursi seraya memandang seluruh ruangan. Di luar kesadaranku, air mata terus menetes membasahi pipiku. “Aku teringat akan ibu, aku kangen suasana ketika aku kecil dulu, aku rindu senyum mu Ibu, aku rindu canda tawamu, aku rindu nasehatmu, Ibu,,, aku rindu sama Ibu”. Tiba-tiba aku tersentak dari lamunan, aku sadar, semua itu g’ akan aku temui lagi.
Aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku. Semua gorden dan tikar yang terpasang aku copot, diganti dengan gorden dan tikar yang ada dalam lemari. Setelah semua selesai, aku ingin membuka sebuah brangkas yang ditinggalkan ibu dalam lemari yang dibeli saat ayah dan ibu baru menikah dulu, dan memang, brangkas itu belum pernah aku buka sebelumnya. Dulu ibu mengatakan, di dalam brangkas itu banyak terdapat surat-surat penting, dan juga terdapat kalung, gelang, dan cincin emas milik ibu. Secara perlahan, brangkas itu aku buka, di dalamnya aku temukan emas milik ibu, serta surat tanah, akta kelahiran ku, serta buku nikah ayah dan ibu. Selain itu, aku juga menemukan sepucuk surat yang mungkin memang sengaja ditulis ibu untuk ku. Air mata ku kembali menetes ketika aku membaca surat dari ibu.

 “Anak ku, ibu sayang sama kamu. Semenjak kepergian ayahmu sampai saat ini selain Allah, hanya kamu yang ibu miliki Nak, kamu adalah bagian dari hidup ibu. Ibu selalu berdo’a, semoga suatu saat kamu menjadi orang yang sukses baik dalam karir maupun dalam keluarga. Tidak seperti ayah dan ibu, yang hidup dalam ketidak pastian. Untuk saat ini, relakan kepergian ayah, jangan terlalu berharap kedatangan ayahmu jika itu hanya akan menambah beban pikiranmu, walaupun ibu tau hubungan seorang anak dan ayahnya tidak dapat dipisahkan. Namun ibu harap kamu dapat berfikir sesuai kondisi Nak. Suatu saat jika ibu sudah tiada, jika ibu sudah dipanggil tuhan, kamu jangan larut dalam ksedihan Ya!, jika saatnya tiba, relakan kepergian ibu, biarkan ibu tenang di sisi sang Khalik. Nak, ingat selalu pesan ibu, jangan pernah lalaikan perintah Allah, jangan jauhkan dirimu dari Allah, karena Allah tidak pernah melalaikan makhluk-Nya. Jika ayah dan ibu bisa saja pergi meninggalkanmu, tapi Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya. Allah selalu punya rencana bagi hambanya. Kita tak pernah tau apa yang akan tejadi esok. Nak, jaga dirimu baik-baik, ibu akan selalu menyayangimu”. Indahnya pelangi bukan karena satu warna, tapi karena banyaknya warna. Bermaknanya hidup bukan karena satu fenomena, tapi karena adanya suka dan duka. Belajarlah dari kehidupan dan maknai dirimu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar